Senin, 08 September 2008

KEUTAMAAN ILMU

Tafakur memerlukan ilmu. Ilmu diperoleh dengan kesungguhan belajar. Orang yang dikaruniai otak jenius akan bodoh bila ia tidak mau belajar. Semakin banyak ilmu yang dimiliki, maka semakin berbobot hasil tafakurnya. Jadi dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa bahan dasar tafakur itu adalah ilmu. Itulah mungkin salah satu sebabnya mengapa meletakkan ilmu diatas segala-galanya. Banyak riwayat Rasulullah saw. Yang menerangkan keutamaan ilmu, salah satunya adalah sebagai berikut :

Seorang Anshar berkata kepada Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah, jika ada orang yang meninggal dunia bertepatan dengan acara majlis ulama, manakah yang lebih berhak mendapatkan perhatian?” Rasulullah saw., menjawab, “Jika telah ada orang yang mengantarkan dan menguburkan jenazah itu, maka menghadiri majlis ulama itu lebih utama daripada melayat seribu jenazah. Bahkan ia lebih utama daripada menjenguk seribu orang sakit, atau shalat seribu hari seribu malam, atau sedekah seribu dirham pada fakir miskin, ataupun seribu kali berhaji; bahkan lebih utama daripada seribu kali berperang dijalan Allah dengan jiwa dan hartamu ! Tahukah engkau bahwa Allah dipatuhi dengan ilmu, dan disembah dengan ilmu pula? Tahukah engkau bahwa kebaikan dunia dan akherat adalah dengan ilmu, sedangkan keburukan dunia dan akherat adalah dengan kebodohan?”
Sayidina Ali bin Abi Thalib ketika ditanya tentang mana yang lebih utama antara ilmu dengan harta :

  • “Ilmu lebih utama daripada harta, ilmu adalah pusaka para nabi, sedang harta adalah pusaka Karun, Sadad, Fir’aun, dan lain-lain.”
  • "Ilmu lebih utama daripada harta, karena ilmu itu menjagamu sedangkan harta malah engkau harus menjaganya.
  • “Harta itu jika engkau “tasarrufkan” (berikan) menjadi berkurang, sebaliknya ilmu jika engkau ‘tasarrufkan’ malahan bertambah.”
  • “Pemilik harta disebut dengan bahil (kikir) dan buruk, tetapi pemilik ilmu disebut dengan nama keagungan dan kemuliaan.”
  • “Pemilik harta Itu musuhnya banyak, sedangkan pemilik ilmu temannya banyak.”
  • “Ilmu lebih utama daripada harta karena di akherat nanti pemilik harta akan dihisab, sedangkan orang berilmu akan memperoleh syafa’at.”
  • “Harta akan hancur berantakan karena lama ditimbun zaman, tetapi ilmu tak akan rusak dan musnah walau ditimbun zaman.”
  • “Harta membuat hati seorang menjadi keras, sedang ilmu malah membuat hati menjadi bercahaya.”
  • “Ilmu lebih utama daripada harta, karena pemilik harta bisa mengaku menjadi Tuhan akibat hartanya yang dimilikinya, sedangkan orang yang berilmu justru mengaku sebagai hamba karena ilmunya.”

Prof. Dr. Hamka berkata :
“Ilmu itu tiang untuk kesempurnaan akal. Bertambah luas akal, bertambah luaslah hidup, bertambah datanglah bahagia. Bertambah sempit akal, bertambah sempit pula hidup, bertambah datanglah celaka.”
Iman tanpa ilmu sama dengan pelita ditangan bayi, sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan pelita ditangan pencuri

Jumat, 05 September 2008

MERENUNG MENCOBA
MEMAHAMI KONSEP TAQDIR

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai taqdir, ada 2 ayat yang harus dipahami terlebih dahulu. Tanpa memahami 2 ayat ini akan sukar rasanya mengerti masalah taqdir.
….Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari (masa) dan (sebelum itu) ‘Arsy-Nya berada di atas air untuk menguji siapakah antara kalian yang lebih baik amal perbuatannya.
Hud:7

Bagian akhir ayat tersebut bermakna bahwa manusia dihadapkan kepada ujian besar yang kemudian akan menentukan nasibnya. Bagaimanakah nasib itu? Allah berfirman dalam ayat lain :

Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi untuk membalas orang-orang yang berbuat jahat dengan apa yang telah mereka perbuat, dan membalas orang-orang yang berbuat baik dengan anugerah yang lebih baik.
An-Najm:31

Dari ayat tersebut orang yang memperoleh pengertian yang jelas bahwa yang berbuat jahat akan menerima hukumannya dan yang berbuat baik akan menerima pahala. Hal ini merupakan suatu keadilan yang tak dapat dibantah.
Allah berfirman bahwa Dia telah mengutus para Rasul kepada umat manusia untuk menunjukan jalan lurus kepada mereka. Sabelum Allah mengutus para Rasul, manusia sudah dikaruniai lebih dahulu akal untuk dapat berfikir dengan baik, dengan akal itu manusia dapat menentukan pilihan dengan bebas. Dengan semuanya itu Allah tidak dapat menerima alasan manusia untuk mengelak dari tanggung jawab pada hari kiamat kelak, dengan menyatakan :

Sesungguhnya kami lengah mengenai itu atau kalian akan mengatakan hal: “Sesungguhnya para orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedangkan kami adalah keturunan yang datang sesudah mereka. Apakah engkau akan memabinasakan kami karena perbuatan batil orang-orang terdahulu?”
Al-A’raaf:172-173

Dengan adanya ayat-ayat sebagaimana yang dikemukakan itu (Hud:7 dan An-Najm:31), mestinya tak ada alasan apapun yang dapat diterima atas pembangkangan yang dilakukan. Walau soalnya telah segamblang itu, namun ada juga orang-orang yang keblinger yang mengatakan : “Tidak ada apapun juga selain Allah, tak ada perbuatan apapun selain Allah, jari-jari Allah ada di belakang segala sesuatu, Allah-lah yang menggerakan segala sesuatunya.”
Hal melemparkan tanggung jawab atas akibat perbuatannya kepada qadar (taqdir), disebabkan karena salah pengertian dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Mereka mencampuradukan antara soal ‘kebebasan’ (ikhtiar) dan soal ‘keterpaksaan’ (Jabr), baik yang mengenai dirinya sendiri maupun yang mengenai soal-soal yang berada diluar dirinya. Jantung kita terus menerus berdenyut menunaikan tugasnya tanpa seizin kita dan di luar kemauan kita. Apakah demikian pula gerak lidah kita pada saat berbicara? Diantara kita ada yang kulitnya putih dan ada pula yang berwarna hitam. Apakah orang harus bertanggung jawab atas warna kulitnya? Seperti ia harus bertanggung jawab atas sikapnya yang iri hati terhadap kenikmatan yang ada pada orang lain, atau atas sikapnya yang mengejek orang lain yang menderita cacat badan?
Contoh lain yang menggambarkan adanya kehendak manusia dan adanya kehendak Illahi misalnya seorang petani yang menanam pohon ganja, atau tanaman narkotik lainnya. Di depan pengadilan ia membela diri dengan mengatakan :”Bagaimanakah saya harus bertanggung jawab atas tanaman yang ditumbuhkan Allah? Memang benar saya telah menanam bibitnya di tanah, tetapi siapakah yang menumbuhkannya hingga ia berdaun dan berbuah? Bukankah Allah berfirman :”Apakah kalian melihat benih yang kalian tanam? Kalinkah yang menumbuhkannya ataukah Kami menumbuhkannya?”

Banyak orang yang memecahkan masalah-masalah agama dengan logika seperti itu!. Kita mengetahui, jika orang hendak berangkat ke mesjid atau ke tempat maksiat, jantungnya tetap berdenyut berdasarkan taqdir Tuhan, susunan syaraf otaknya yang mengeluarkan perintah kepada kaki supaya bergerak juga berdasarkan taqdir Tuhan, dan bumi yang diinjak tidak diguncang gempa dan tidak lenyap karena kehendak Tuhan; apakah semuanya itu berarti Tuhan yang mendorong pergi orang itu untuk pergi ke mesjid atau ke tempat maksiat? Tidak, sama sekali tidak! Manusia bebas berkehendak ia ‘dipaksa’ oleh kehendaknya yang bebas itu, dan dengan kehendaknya itu ia bebas menentukan pilihan yang benar, dan dengan pilihannya yang benar itu ia memperoleh balasan yang baik. Tuhan membantu manusia untuk memperoleh apa yang dikehendaki bagi dirinya, Tuhan yang mematangkan proses pertumbuhan benih di tanah, dan Tuhan yang membantu manusia untuk dapat membuat arus listrik yang menerangi rumahnya. Semuanya itu tidak menghilangkan tanggung jawab manusia atas apa yang telah diperbuatnya.

Maka barangsiapa yang ingin (beriman), hendaklah ia beriman dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir
Al-Kahfi:29

Jadi jelaslah, seseorang dengan naluri ‘kehendaknya’nya itu dapat menempuh jalan yang terang (kebajikan), dan dapat pula menempuh jalan yang gelap (kejahatan), dapat bersukur dan dapat ingkar.
Bila kita baca firman Allah berikut :

Demikianlah Allah Menyesatkan siapa saja menurut kehendak-Nya, dan memberi hidayah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan tiada ada yang mengetahui bala tentara Tuhanmu melainkan Dia,
Al-Muddatstsir :31

Ayat diatas tidak dapat diartikan bahwa Allah dengan semena-mena menentukan jalan hidup manusia. Jauh nian Allah Yang Maha Penyayang dan Maha Adil berbuat seperti itu! Tapi lihatlah siapa yang dimaksud untuk disesatkan-Nya dalam firman-firman-Nya berikut :

Dan Allah menyesatkan orang-orang zalim, dan Allah berbuat menurut kehendak-Nya.
Ibrahim:27
Demikain Alah menyesatkan orang yang melampui batas dan ragu-ragu.
Al-Mu’min:34

Dan Allah tidak memberi hidayah (petunjuk) kepada orang pendusta yang sangat ingkar.
Az-Zumar:3

Jadi pada dasarnya, sebelum Allah menghendaki kesesatan seorang manusia, manusia itu sudah lebih dulu menyesatkan dirinya. Demikian juga bila kita ingin tahu siapakah yang akan diberi hidayah oleh-Nya, dapat dilihat dalam ayat-ayat berikut :

Seungguhnya orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, akan diberi hidayah oleh Tuhan mereka atas keimanan mereka.
Yunus: 9
Dan barangsiapa beriman kepada Allah, hatinya diberi hidayah oleh-Nya.
At-Taghaabun:11

Allah memberi hidayah kepada orang-orang yang kembali (bertobat) kepada-Nya, mereka itu adalah orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan selalu ingat kepada Allah.
Ar-Ra’d:27,28

Penjelasan hal ini janganlah diartikan sebagai mencari-cari, karena memang sesungguhnya ayat-ayat Al-Qur’an itu saling menafsirkan, saling membenarkan dan saling menyempurnakan.
Apakah dengan demikian dapat diartikan bahwa penentuan lebih dahulu dari Allah atas segala kejadian di dunia ini, baik yang menimpa alam atau pun diri kita, tidak ada? Lihat firman Allah berikut :

Tidak ada sesuatu kejadian pun terjadi di bumi dan tidak pula pada diri kamu melainkan telah ada dalam kitab (suratan) sebelum Kami melaksanakannya. Sesungguhnya hal itu bagi Allah adalah perkara mudah. Agar kamu tidak terlalu sedih atas sesuatu yang luput dari kamu, dan tidak perlu terlalu gembira atas sesuatu yang dikaruniakan-Nya kepada kamu. Allah tidak suka kepada setiap orang yang angkuh dan banyak membanggakan diri.
Al-Hadiid:22,23
Jadi jelas bahwa taqdir itu memang ada! Dan apa pun taqdir yang menimpa seorang Muslim tidak perlu dipermasalahkan karena tetap saja ia dituntut untuk melaksanakan makna “Islam”, yaitu menyerahkan diri seutuhnya tunduk patuh kepada segala kehendak dan ketentuan-Nya (dengan perkataan lain, ditaqdirkan bagaimana pun ia tidak terbebas dari kewajiban menjalankan “aturan main” yang dibuat-Nya). Itulah inti ajaran semua agama yang dianut oleh seluruh Nabi-nabi terdahulu. Dengan demikian, jelaslah apa pun taqdir yang menimpa manusia, itu adalah merupakan ujian-Nya apakah kita dapat tetap taat menjalankan aturan main-Nya atau tidak. Oleh karena itu, sebagai raja ataupun sebagai rakyat jelata pada hakekatnya adalah sama saja, karena kedua-duanya masing-masing mengemban amanah (aturan main) yang wajib dilaksanakan dan kelak harus dipertanggungjawabkan, hanya saja tentunya bentuk amanahnya itu berbeda. Hal ini ditegaskan oleh Allah dengan firman-Nya bahwa manusia yang terbaik adalah bukan kedudukannya yang paling tinggi, tetapi manusia yang terbaik itu adalah yang paling tinggi ketaatannya pada aturan main yang telah ditentukan.
Seorang muslim dituntut harus ikhlas menerima taqdir Illahi, bila tidak maka ia berdosa. Rasulullah saw. bersabda, “..dan kamu harus percaya kepada taqdir-Nya yang baik maupun yang buruk.” Dalam hal kita menerima taqdir yang menurut sangkaan kita itu adalah buruk, disamping kita percayai itu sebagai ujian, maka kitapun harus berprasangka baik bahwa Allah tidak mungkin berbuat zalim atau berbuat tidak adil. Adapun rasa tidak puas atas ketentuan yang ditetapkan-Nya, ini merupakan ‘kelemahan’ manusia yang sudah menjadi sifatnya sebagaimana yang diisyaratkan Allah dalam firman-Nya :

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.
Al-Baqarah:216
Salah satu manfaat adanya ajaran mengenai taqdir ini adalah agar kita tidak terjebak dalam sikap angkuh (kibr) dan putus asa. Angkuh dan tidak tahu diri karena mengalami keberhasilan; dan berputus asa karena mengalami kegagalan. Bukankah dua sikap ini sangat dilaknat Allah? Bahkan Rasulullah saw. Mengatakan, “Tidak akan masuk sorga orang yang memiliki sikap angkuh walaupun hanya sebesar biji sawi!” Demikian pula di konsep taqdir ini dipahami dengan baik, maka manusia tidak akan terjebak dalam sikap apatis (nrimo) yang jelas-jelas dilarang oleh Allah. Berusahalah sekuat kemampuan yang ada untuk menjadi lebih baik lagi, sedangkan perkara hasilnya kita percayakan sepenuhnya pada kehendak Allah (Laa haula walaa quwwata Illa billaahil Aliyyil Adzim../ tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah).
Riwayat berikut ini mungkin akan memparkaya wawasan kita dalam memahami taqdir. Dikisahkan ketika negeri Syam terjadi wabah, khalifah pada saat itu yaitu Umar bin Khatab membatalkan rencana berkunjung ke sana. Mendengar berita ini seorang sahabatnya bertanya, “Apakah anda lari/menghindar dari taqdir Tuhan?” Umar pun menjawab, “Aku lari/menghindar dari taqdir Tuhan kepada taqdir yang lain.” Demikian pula ketika Imam Ali bin Abi Thalib sedang duduk bersandar di suatu tembok yang ternyata rapuh, beliau pindah ke tempat lain. Beberapa orang di sekelilingnya bertanya seperti pertanyaan di atas. Jawaban Ali bin Abi Thalib sama intinya dengan jawaban Khalifah Umar r.a. Runtuhnya tembok, berjangkitnya penyakit adalah berdasarkan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya, dan bila seseorang tidak menghindar, ia akan menerima akibatnya. Akibat yang menimpanya itu adalah juga taqdir, tetapi bila ia menghindar dan luput dari marabahaya maka itupun taqdir.
Nabi dan sahabat-sahabatnya utama beliau, tidak pernah mempersoalkan taqdir sebagaimana dilakukan oleh para ulama/teolog. Mereka sepenuhnya yakin tentang taqdir Allah yang menyentuh semua mahluk manusia, tetapi sedikitpun keyakinan ini tidak menghalangi mereka berjuang, dan kalau kalah sedikitpun mereka tidak menimpakan kesalahan kepada Allah. Sikap nabi dan para Sahabat tersebut lahir karena mereka memahami Al-Qur’an tidak secara sepotong-sepotong, tetapi memahaminya secara keseluruhan/kesatuan.

Tambahan :
Prof. DR. M. Quraish Shihab seorang pakar tafsir lulusan Al-Azhar, dalam bukunya “Lentera Hati”, mengatakan bahwa perintah Allah kepada manusia pada dasarnya ada dua jenis, Yaitu perintah-Nya yang berkaitan dengan syari’at agama dan perintah-Nya yang berkaitan dengan hukum-hukum kemasyarakatan yang disebut Sunatullah.”
Perintah yang berkaitan dengan syari’at, seperti shalat, puasa, zakat, dan lain-lain, ditunda ganjaran dan sanksinya sampai hari kemudian. Kalaupun ganjaran atau sanksi itu ada yang dapat dirasakan di dunia, itu hanyalah sekedar panjar. Sedangkan perintah yang berkaitan dengan Sunatullah, sanksi dan ganjarannya akan dirasakan dalam kehidupan dunia ini. Siapa yang giat bekerja, belajar, akan kaya dan sukses dan itulah ganjaran-Nya. Siapa yang membiarkan diri terserang kuman, atau menganggur tidak bekerja, pasti menderita dan itulah siksa-Nya. Bukankah hukum-hukum alam dan kemasyarakatan adalah ciptaan dan ketentuan Allah juga, dan penderitaan yang dialami akibat melanggarnya adalah ketetapan-Nya juga yang diberlakukan tanpa pilih kasih serta berdasarkan hukum-hukum itu? Dalam hal ini Al-Qur’an mengatakan, “Allah tidak menganiaya mereka, tetapi mereka yang menganiaya diri sendiri” [Al-Imran:117].

Dari pengertian tersebut kiranya tidak perlu lagi kita mempertanyakan berikut: “Mengapa non Muslim maju sedangkan mereka tidak shalat dan juga tidak puasa?” Bukankah kemajuan material mereka diraih dengan bertebarannya mereka di bumi dan cucuran keringat? “Mengapa rizki tidak kunjung datang sedangkan tahajud telah melengkungkan punggung?” Bukankah ini ganjarannya ada di akherat nanti?
Akhirnya, kita kita harus sadar bahwa kita baru mengalami setengah dari perintah Allah, sementara setengah lainnya delaksanakan dengan baik oleh umat yang lain. Padahal Al-Qur’an telah menegaskan, “Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan ) yang lain.” [Alam-Nasyrah:7]
Referensi :
1. Syaikh Muhammad Al-Ghazali, “Al-Ghazali menjawab 40 Soal Islam abad 20”
2. DR. Nurcholis Madjid, “Pintu-pintu menuju Tuhan”
3. Prof. DR. M. Quraish Shihab, “Lentera Hati”

Sekali lagi mengenai taqdir :
Manusia diberi kebebasan sepenuhnya untuk berkehendak (free will) tetapi hasil akhirnya bukan ditentukan oleh upaya manusia itu sendiri melainkan Allah lah yang menentukan hasilnya. “Kebebasan” yang diberikan Allah kepada manusia ini kelak akan dituntut pertanggungjawabannya di akherat kelak. Bagi yang memilih perbuatan buruk akan diberi ganjaran berupa siksa, sedangkan bagi yang memilih perbuatan baik akan diberi ganjaran berbentuk nikmat.
Manusia hanya berupaya, Tuhan lah yang Menentukan hasilnya. Dengan demikian, keputusan apakah kita akan pergi ke mesjid atau ke tempat maksiat semata-mata itu ditentukan oleh kehendak kita sendiri, Allah sama sekali tidak ikut campur. Allah hanya ikut campur dalam perkara yang menyangkut hasilnya. Sampai tidaknya kita ke tempat yang akan dituju sepenuhnya ditentukan oleh Allah. Dari sini kita dapat mengerti mengapa Islam mengajarkan bahwa niat yang baik akan diberi ganjaran. Dan juga mengapa Al-Qur’an mengatakan bahwa kita terlarang merasa ‘pasti’ tetapi ucapkanlah ‘Insya Allah’. Juga mengapa Islam mengajarkan bersyukur apabila kita sampai dengan selamat di tempat yang menjadi tujuan kita.
Memang pembahasan mengenai taqdir seringkali berakhir dengan ngambang. Hal ini mungkin disebabkan karena pada waktu membahasnya tidak dijiwai dengan :
Al-Qur’an itu adalah merupakan pedoman hidup yang memberikan pelajaran/motivasi agar manusia dapat hidup bahagia.
Ayat Al-Qur’an harus diterapkan pada situasi dan kondisi yang tepat.
Al-Qur’an itu harus diperlakukan secara terpadu, artinya dalam menafsirkan suatu ayat kita harus juga membawa 6.236 ayat lainnya.
Ayat-ayat dalam Al-Qur’an tidak mungkin ada yang bertentangan antara satu dengan yang lainnya.

Jumat, 11 Juli 2008

SAINS MEMBUKTIKAN
KEBENARAN AYAT AL-QUR’AN

Seorang guru besar/ahli bedah kenamaan Prancis, Prof. Dr. Maurice Bucaille, masuk Islam secara diam-diam. Sebelumnya ia membaca dalam Al-Qur’an, bahwa Fir’aun itu mati karena tenggelam di laut (dengan shock yang berat) dan jasadnya oleh Allah diselamatkan. Dicarinya mumi Fir’aun itu; dan setelah ketemu, dilakukannya bedah mayat. Hasilnya membuat ia terheran-heran, karena sel-sel syaraf Fir’aun menunjukan bahwa kematiannya benar akibat tenggelam di laut dengan shock yang hebat. Menemukan bukti ini, ia yakin kalau Al-Qur’an itu wahyu Allah. Prof. Dr. Maurice Bucaille mengatakan bahwa semua ayat-ayat Al-Qur’an masuk akal dan mendorong sains untuk maju. Ia pun lantas masuk Islam.

Ir. RHA. Syahrul Alim Msc dalam bukunya “Menuju Persaksian”, menjelaskan tentang beberapa penemuan ilmu pengetahuan yang menakjubkan, yang sebenarnya telah disiratkan dalam Al-Qur’an: yaitu antara lain:

Keadaan bagian Bumi
Bumi yang kita tempati ini, adalah suatu planet yang kurang lebih berbentuk bola raksasa. Bagian luar dari bola bumi yang berupa tanah dan batuan mempunyai kerapatan kira-kira 3 gram/cc. Makin jauh kedalam bumi ternyata makin besar rapatnya dan makin tinggi pula temperaturnya. Pada kira-kira 50 Km dari permukaan bumi maka temperaturnya mencapai kira-kira 1500 derajat Celcius dan rapatnya kira-kira 3,5 gram/cc. Pada jarak kira-kira 3000 km ke dalam bumi rapatnya akan mencapai nilai 9,7 gram/cc dan suhunya kira-kira 5000 derajat Celcius. Bagian ini disebut teras bumi. Di pusat bumi rapatnya akan naik lagi sehingga mencapai kira-kira 13 gram/cc dan suhunya ditaksir kira-kira 7000 derajat Celcius.

Bagaimana halnya jika pada suatu ketika bumi berkesempatan memuntahkan isinya yang berat dan panasnya itu? Ia akan mengejutkan seluruh umat manusia, dan akan mengakibatkan kehancuran serta kemusnahan semua kehidupan di muka bumi. Dan ini berarti hari akhir bagi semua manusia. Allah memberitahukan peristiwa yang akan terjadi pada hari kiamat itu:
Jika bumi diguncangkan dengan sehebat-hebatnya dan bumi mengeluarkan isi-isinya yang berat.

Dan jika bumi diulurkan (dikembangkan) dan bumi memuntahkan isi-isinya, dan menjadi kosonglah ia.

Firman-firman di atas sesuai sekali dengan apa yang telah diketahui oleh manusia sekarang ini tentang isi (bagian dalam) bumi, seperti diterangkan di atas

Pasang-pasangan dalam bumi
Dalam kehidupan sehari-hari, kita mengenal adanya pasang-pasangan. Jantan dan betina, siang dan malam, dan lain-lain. Pasang-pasangan seperti itu bersifat saling melengkapi dan mengakibatkan timbulnya keharmonisan dalam alam ini. Dalam penyelidikan manusia tentang zarah elementer yang merupakan batu penyusun dari benda-benda, ternyata juga dijumpai pasangan-pasangan. Menurut fisika atom atau fisika inti, telah diketemukan pasangan-pasangan yang sangat menggemparkan para ahli, seperti elektron dan positron, proton dan anti proton, nuetron dan anti neutron dan berbagai-bagai zarah dan anti zarah lainnya. Dengan demikian terbukalah kemungkinan adanya anti materi disamping materi yang biasa, atau adanya anti atom disamping atom-atom biasa.

Kesemuanya itu menguatkan (membenarkan) apa yang telah difirmankan dalam Al-Qur’an:
Maha suci Alloh yang telah menjadikan semua pasang-pasangan dari yang ditumbuhkan di bumi, dan dari diri mereka sendiri serta dari hal-hal yang tidak mereka ketahui.
Lebih tegas lagi Allah berfirman:
Dan segala sesuatu kami jadikan berpasang-pasangan, mudah-mudahan kamu ingat.

Waktu adalah relatif
Pada tahun 1905 seorang sarjana fisika, Albert Einstein, telah mengejutkan sarjana-sarjana fisika lainnya di seluruh dunia dengan sebuah teori relativitas. Teorinya ini merupakan pemecahan terhadap berbagai persoalan penting yang dihadapi para ahli fisika dalam abad 20 ini. Dengan teori ini orang mengetahui tentang kesetaraan massa dan tenaga, yang merupakan dasar dalam perhitungan tenaga nuklir. Dan juga orang mengetahui bahwa besarnya massa, ukuran panjang, dan waktu adalah relatif, tergantung pada kecepatan sistemnya. Pengaruh kecepatan ini akan sangat terasa sekali bila sangat tinggi mendekati kecepatan cahaya. Menurut teori relativitas, kecepatan cahaya dalam hampa (300.000 km/detik) adalah kecepatan maksimum yang dapat dilampaui oleh materi. Massa suatu benda akan bertambah besar bila kecepatan makin tinggi, sedangkan ukuran panjangnya akan menyusut, dan waktu akan bertambah lambat. Jadi, satu jam bagi sistem yang bergerak sangat cepat terhadap kita, mungkin sama dengan satu hari, atau satu bulan, ataupun satu tahun menurut ukuran kita. Relativitas seperti itu sesuai dan dapat dipahamkan dengan firman Allah sebagai berkut:
Tuhan menyelenggarakan urusan dari langit ke bumi, kemudian urusan itu naik kepada-Nya dalam sehari yang ukurannya seribu tahun menurut perhitunganmu.
Para malaikat dan ruh naik kepada-Nya dalam satu hari yang ukurannya 50 ribu tahun.

Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya “Mukjizat Al-Qur’an memaparkan antara lain hal-hal sebagai berikut;

Gunung berjalan
Dalam Al-Qur’an surat An-Naml ayat 88 Allah berfirman
Kamu lihat gunung-gunung, kamu sangka ia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagaimana jalannya awan. Begitulah perbuatan Allah, yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Dari hasil rekaman satelit diperoleh bukti bahwa jazirah Arab beserta gunung-gunungnya bergerak mendekati Iran beberapa sentimeter setiap tahunnya (!). Sebelumnya sekitar lima juta tahun yang lalu, jazirah Arab bergerak memisahkan diri dari Afrika dan membentuk Laut Merah. Sekitar daerah Somalia sepanjang pantai timur ke selatan saat ini berada dalam proses pemisahan yang lamban dan telah membentuk “Lembah Belah” yang membujur ke selatan melalui deretan danau Afrika.

Kejadian alam semesta
Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa langit dan bumi tadinya merupakan suatu gumpalan melalui firman-Nya:

Tidaklah orang-orang kafir memperhatikan bahwa langit dan bumi tadinya merupakan satu yang padu (gumpalan), kemudian Kami memisahkannya dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup. Maka mengapa mereka tidak juga beriman ?

Al-Qur’an tidak menjelaskan bagaimana terjadinya pemisahan itu, namun apa yang dikemukakan diatas tentang keterpaduan alam raya kemudian pemisahannya dibenarkan oleh observasi para ilmuwan.

Observasi Edwin P. Hubble (1889-1953) melalui teropong bintang raksasa pada tahun 1929 menunjukan adanya pemuaian alam semesta. Ini berarti alam semesta berekspansi, bukannya statis seperti dugaan Einstein. Ekspansi itu menurut fisikawan Rusia George Gamow (1904-1968), melahirkan sekitar seratus miliar galaksi yang masing-masing rata-rata memiliki 100 miliar bintang. Tetapi sebelumnya, bila ditarik ke belakang kesemuanya merupakan satu gumpalan yang terdiri dari neutron. Gumpalan itulah yang meledak dan yang dikenal dengan istilah Big Bang.

Demikian beberapa ayat merupakan mukjizat ilmiah yang datang dari Tuhan Yang Maha Mengetahui segala rahasia yang dilangit dan dibumi. Mudah-mudahan dapatlah menambah keimanan kita terhadap Allah, Rasul-Nya dan Kitab-Nya.

Minggu, 06 Juli 2008

SARANA DAN PRASARANA UNTUK HIDUP BAHAGIA SEKARANG DAN NANTI

Saudara, apa yang anda ketahui dalam diri anda untuk mengelabui kehidupan yang serba rusak ini? apakah anda punya keyakinan dalam diri anda bahwa hidup ini ada ujungnya? ataukah akan memanfaatkan AJI MUNGPUNG di kehidupan sekarang ini? sejauh mana anda mengetahui bahwa kesuksesan anda sekarang ini adalah berawal dari modal anda? apakah modal (senjata rahasia menuju sukses) anda?

Sering tidak disadari bahwa kita bisa sukses sekarang ini karena.....
kita diberi modal (bukan hasil investasi kita) yakni berupa Panca Indera; ada mata, hidung, telingan, mulut, kaki, tangan dan lai-lainnya. Tentu kita bertanya siapa yang memberikan modal semua itu kepada kita? yang punya keyakinan akan hari akhir tentu akan tahu jawabannya. betul... betul... dialah Allah swt., yang telah memberikannya kepada kita.

Bisa kita bayangkan kalau kita tidak memiliki modal-modal itu, apakah akan sukses? tugas mata adalah untuk melihat saja, melihat ke segala arah kiri, kanan, atas dan bawah. Hasil dari melihat, kita simpan di memori kita untuk dilakukan tindakan selanjutnya oleh anggota badan lainnya. Telinga, tugasnya hanya sekedar mendengar tanpa bisa melakukan ambil ini-itu seperti layaknya tangan, telinga tidak bisa dipakai untuk berjalan layaknya sepasang kaki, telingan tidak bisa dipakai untuk ngomong layaknya mulut, begitu pula dengan anggota-anggota badan yang lainnya, masing-masing punya tugas. semuanya bekerja secara berkesinambungan sehingga menghasilkan suatu hasil kerja.

Nah dari hasil kerja anggota badan kita itulah yang akan menjadi pro dan kontra di mata kebenaran. Sekarang, mau kita arahkan/investasikan ke mana modal pinjaman kita ini? akankah digunakan ke jalan kesesatan atau kebenaran? tentu semua jawabannya akan dipakai ke jalan kebenaran. tapi mengapa masih saja banyak orang yang memanfaatkan/menginvestasikan modal-modal tersebut ke jalan sesat? sejujurnya mereka semua hanya terbujuk saja oleh rayuan-rayuan iblis yang berupa kemegahan duniawi, nikmatnya gadis-gadis, dan kesenangan-kesenangan yang menipu.
Sekarang mari untuk kita saling mengingatkan dan saling koreksi atas kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan baik yang disengaja ataupun yang tidak, janganlah kita terlanjur oleh bujuk rayu iblis, karena iblis di akhirat nanti hanya akan menyalahkan kita, "mengapa orang-orang itu mau aku bujuk dengan kemewahan yang menipu dan mau berbelok dari jalan kebenaran", itulah jawaban iblis.

Sabtu, 05 Juli 2008

MUSUH MANUSIA NOMOR WAHID

Telinga kita sudah amat akrab dengan sebutan Jin, iblis ataupun syetan. Tetapi tahukan kita dimana letak perbedaannya? Hal ini penting untuk diketahui, karena Allah dalam Al-Qur’an telah jelas-jelas menegaskan bahwa syetan itu adalan musuh yang nyata bagi manusia yang harus senantiasa dijadikan musuh. Kita jelas tidak mungkin dapat sukses mengalahkan syetan bila kita tidak mengetahui keberadaan dan kemampuan musuh kita itu.

Pemahaman mengenai apa dan siapa syetan itu tidak dapat lepas dari makhluk Tuhan yang disebut iblis. Al-Qur’an menjelaskan bahwa iblis itu adalah makhluk Tuhan yang kafir dari golongan jin yang membangkang kepada Tuhan. Ia telah bersumpah akan menyesatkan turunan Adam sampai hari kiamat nanti.

Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum aku tersesat, aku benar-benar akan (menghalangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus.”

Iblis menjawab : “Demi kekuasan Engkau, aku akan menyesatkan semuanya.”

Pelaksanaan niat iblis inilah yang disebut dengan syetan. Jadi dengan demikian, syetan itu adalah segala sesuatu yang bersifat menghasut manusia agar membangkang pada aturan main Tuhan. Dan syetan ini dapat berupa bangsa Jin ataupun bangsa manusia.
Syetan dari bangsa manusia mudah sekali dikenali, tetapi tidak demikian halnya dengan dari bangsa Jin/Iblis. Meskipun ada juga manusia yang dapat mengenalinya/melihat syetan dan bangsa jin ini, namun umumnya manusia biasa tidak dapat melihatnya, tetapi dapat merasakan hasutannya.

Kemampuan/kekuasaan syetan terhadap manusia menurut Al-Qur’an adalah hanya sebatas menghasut saja. Syetan tidak punya kemampuan untuk memaksa manusia supaya menuruti apa yang dibisikannya. Ia benar-benar hanya bisa menghimbau saja, selanjutnya terserah manusia itu sendiri apakah mau mengikuti himbauan/bisikannya itu atau menolaknya. Manusia benar-benar mahluk yang merdeka dalama menentukan pilihannya.

Sesungguhnya syetan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan munkar

Dan berkatalah syetan tatkala (hisab) telah diselesaikan: “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri.
(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) syetan ketika dia berkata kepada manusia, “Kafirlah kamu.” Maka tatkala manusia itu telah kafir syetan berkata, “sesungguhnya aku takut kepada Allah.”
Dan berkatalah : ”Ya Tuhanku, aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan syetan. Dan aku berlindung (pula) kepada Engkau ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku.”
Dengan demikian jelaslah kita tidak bisa menimpakan kesalahan kepada syetan bila ada orang yang ngantuk pada waktu mengaji ataupun enggan mengikuti pengajian. Begitu juga kita tidak dapat sewenang-wenang menuduh syetanlah yang sepenuhnya bertanggung jawab bila ada seorang anak membunuh orang tuanya. Hal ini disebabkan karena memang kemampuan syetan itu sebatas menghimbau saja, yaitu agar manusia membangkang pada aturan main yang telah ditetapkan Tuhan. Adapun soal himbauan itu diturut atau tidak. Serahkan sepenuhnya pada kemauan manusia sendiri.

Bila kita menyadari benar apa yang dilakukan syetan kepada kita, serta bagaimana cara-caranya dalam menyesatkan manusia. Maka kita selalu memasang kuda-kuda mengantisipasi serangannya. Dan dengan keyakinan yang kuat bahwa bisikan syetan itu memang ada dalam jiwa (bukan hanya dogma belaka), maka Insya Allah kita akan mampu menepis bisikan tersebut. Ingatlah kisah nabi Yusuf yang digoda oleh istri pembesar Mesir (Zulaikha): “ Wahai Tuhanku penjara lebih aku sukai daripada mematuhi ajakan mereka kepadaku.”
Tentunya sikap yang ditunjukan oleh nabi Yusuf itu bukan lantaran ia tidak berminat dengan kecantikan yang dimiliki Zulaikha. Tetapi penolakan itu karena nabi Yusuf sadar benar adanya himbauan dari syetan agar ia melanggar aturan main-Nya

Disamping menghasut jiwa manusia, syetan (iblis) juga meyesatkan manusia lewat perbuatan syirik. Inilah sebenarnya perbuatan yang paling digemari syetan (iblis). Karena ia tahu, inilah satu-satunya perbuatan dosa yang dilakukan anak Adam yang tidak akan diampuni oleh Allah
Mungkin salah satu kiat untuk menghadapi syetan, baik dari bangsa jin maupun dari bangsa manusia, adalah dengan menyadari dan menerapkan hukum universal yang sangat sederhana itu: “Bila kita berpihak pada syetan, yaitu dengan melakukan himbuannya, maka pada saat itu yang kita korbankan adalah Allah (karena pada waktu itu segala perintah-Nya kita cuekin). Sebaliknya bila kita berpihak pada Tuhan, maka syetanlah korbannya (karena bisikannya tidak kita laksanakan). Tampaknya persoalan kini sederhana: siapa yang akan kita korbankan, Tuhan atau syetan?

Hai manusia, sesungguhnnya janji Allah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syetan yang pandai menipu, memperdayakan tentang Allah.

Jumat, 04 Juli 2008

BERSERAH DIRI KEPADA ALLAH

Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah sedangkan dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah lah kesudahan segala urusan.

Yang dimaksud dengan berserah diri ialah menyerahkan diri seutuhnya untuk diatur oleh Allah. Menyerahkan diri kepada Allah bukanlah berarti mengabaikan usaha. Namun kita harus berusaha dahulu sekuat kemampuan yang ada. Adapun hasilnya kita serahkan sepenuhnya kepada Allah, apakah Dia akan memberikan hasil yang sesuai dengan keinginan kita? Kita ikhlas menerima semua ketentuan yang ditetapkan-Nya.

Untuk dapat berserah diri kepada Allah ini, diperlukan sikap mental yang positif. Dasarnya yaitu, Kita harus selalu berprasangka baik kepada-Nya. Kita harus yakin bahwa keadaan yang diterima adalah jalan terbaik, yaitu sesuai dengan permintaan kita pada setiap shalat (…Ihdinashshiroothol mustaqiim..). Yakinlah bahwa pada hakekatnya, Allah Maha Pengasih dan Penyayang tidak akan menganiaya hamba-Nya.

Demikian itu disebabkan karena perbuatan tanganmu sendiri. Sesungguhnya sekali-kali Allah tidak menganiaya hamba-Nya.

Yakinilah bahwa kejadian yang baik menurut perasaan atau pikiran kita, sesungguhnya belum tentu baik menurut kaca mata Allah. Demikan juga pengalaman telah membuktikan, bahwa dibalik kejadian buruk yang menimpa, seringkali terdapat hikmah berharga. Bukankah jika kita memusatkan pandangan hanya pada tahi lalat saja akan terlihat buruk? Tetapi cobalah pandang wajah secara keseluruhan, kita akan melihat justru tahi lalat itulah yang menjadi unsur utama kecantikan atau ketampanannya.

Orang akan mudah berserah diri kepada Allah bila haqqul yaqin bahwa kehidupan di dunia ini adalah kehidupan awal. Kehidupan yang amat singkat. Kehidupan yang penuh dengan kesenangan yang menipu.
Adapun indikator keberhasilan dari berserah diri ialah tidak adanya rasa was-was, khawatir atau kecewa. Yang ada adalah ucapan dengan penuh rasa syukur ‘alhamdulillaah’ atau dengan penuh rasa ikhlas ‘Innaa lillaahi wainna ilaihi rooji’uun’.
….Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang dia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.
Orang yang berserah diri, tidak akan mengeluh atau protes kepada Allah, Tetapi dia menjadi hamba yang penurut. Tindakannya hanya semata-mata dilakukan karena taat mematuhi perintah Allah. Dia berlaku baik kepada seseorang bukan sebagai balasan karena orang tersebut telah berlaku baik terhadapnya, tetapi hal ini dilakukannya semata-mata karena Allah memerintahkan manusia untuk berbuat kebajikan. Pandangan batinnya telanjang sebagaimana adanya (tidak berburuk sangka). Lirikannya tanpa disertai emosi. Jiwanya tidak terguncangkan oleh adanya stimulan baik yang berasal dari dalam jiwanya sendiri, maupun yang berasal dari lingkungannya. Dia dapat merasakan kaya tanpa harta, sakti tanpa ilmu. Hal ini hanya dapat terjadi jika kita sudah mampu menjadikan taat sebagai senjata untuk melawan setan dan nafsu.


Kesimpulan

  1. Kunci agar dapat berserah diri kepada Allah adalah, harus selalu berprasangka baik kepada-Nya. Berusahalah dahulu dengan segenap kemampuan yang ada, dan kemudian serahkan ketentuan hasilnya kepada Allah. Apapun hasil yang diperoleh dari usaha itu, yakinlah bahwa itu yang terbaik untuk kita, yaitu sejalan dengan permintaan kita pada setiap shalat (…ihdinashshirotol mustaqiim). Musibah yang menimpa bukan untuk ditangisi, tapi merupakan indikator agar kita segera melakukan introspeksi diri.
    Bahwa sesunguhnya Allah menghendaki akan menimpa musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka

    Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri..

    …dan sekali-kali tidaklah Rabbmu menganiaya hamba-hamba-Nya
  2. Dengan berserah diri kepada Allah, Insya Allah kita akan terhindar dari stress. Segala urusanpun akan dimudahkan-Nya. kita jangan memaksa atau mendikte Allah agar mengabulkan keingin, tetapi berdo’alah dengan lemah lembut dan penuh harapan: “Ya Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, sekiranya hal ini memang bermanfaat bagiku, kabulkanlah permintaanku. Tetapi sekiranya hal ini tidak akan mendatangkan menfaat bagiku, jauhkanlah ya Allah! Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui.”

BERSYUKUR

Bersyukur adalah suatu istilah yang sudah sangat akrab di telinga kita. Namun, apakah pemahaman kita tentang arti bersyukur itu sudah merasuk pula dalam jiwa kita?

Untuk memahami makna bersyukur, bayangkanlah ilustrasi berikut ini:
Ada dua orang tuna karya, katakanlah yang seorang bernama Mungkar dan yang seorang lagi bernama Soleh. Mereka meminta pertolongan kita untuk mencarikan kerja. Kebetulan kita mempunyai beberapa teman baik yang menjabat direktur di beberapa perusahaan. Singkat cerita, berkat ‘perjuangan’ kita, maka akhirnya Mungkar dan Soleh berhasil diterima bekerja di kantor teman baik kita itu. Meskipun sudah kita tolong, namun si Mungkar itu tidak menunjukan rasa terima kasihnya sedikitpun kepada kita (mungkin menganggap pertolongan kita itu bukanlah sesuatu yang istimewa). Kemudian hari, bahkan kita menerima complain dari teman kita itu bahwa si Mungkar sering mangkir dan melakukan perbuatan tercela yang merugikan perusahaan. Lain halnya dengan si Soleh, Si Soleh itu berkali-kali menyatakan rasa terima kasihnya kepada kita bahkan sampai berurai air mata. Kemudian hari, kita pun mendapat laporan dari teman direktur itu, bahwa ia beruntung sekali mendapat pegawai seperti si Soleh karena orangnya rajin, tekun dan jujur dalam bekerja, bahkan akhirnya dijadikan tangan kanannya! Bila akhirnya si Mungkar itu dipecat dari kantornya, niscaya kita tidak akan mau lagi merekomendasikannya bekerja di kantor manapun. Tetapi sebaliknya, bila si Soleh kehilangan pekerjaannya karena perusahaannya itu bangkrut, maka tentu kita akan berusaha mencarikan pekerjaan lain untuknya. Bahkan bila misalnya ada perusahaan lain yang memberikan jaminan yang lebih baik, maka tentu kita bantu agar si Soleh pindah ke tempat yang lebih baik.
Dari ilustrasi ini, dapat ditarik kesimpulan umum bahwa, bila ‘si pemberi nikmat’ dibuat kecewa oleh tindakan kita, tentunya ia tidak mau menolong atau memberi sesuatu lagi kepada kita.
Sekarang, marilah kita introspeksi untuk menghitung-hitung nikmat yang telah diberikan Allah kepada kita selama ini. Berapa banyak nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita tetapi tidak diberikan kepada orang lain. Apakah pemberian dari manusia yang melebihi nikmat yang diberikan Allah? Hati-hatilah, jangan sampai Nanda termasuk orang yang dimaksud dalam firman-Nya:

Dan sesungguhnya Allah itu tidak menyukai orang-orang yang berkhianat dan tidak berterima kasih.
Bagaimana cara bersyukur atau berterima kasih kepada Allah? Caranya yaitu pertama, menyadari nikmat-nikmat yang telah kita terima selama ini dengan diiringi rasa terima kasih yang dalam atas kemurahan-Nya kepada kita; kemudian kedua, (yang terpenting), melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat membuat-Nya senang. Allah senang bila kita taat pada perintah-perintah-Nya, seperti misalnya: shalat, berserah diri, sabar waktu ditimpa musibah atau sabar waktu diperlakukan zalim oleh orang, meninggalkan perbantahan sedangkan kita merasa benar, berlaku baik kepada orang, menolong orang yang sedang berkesusahan, tidak iri hati/dengki, tidak takabur/sombong, tidak riya/pamer, membantu dalam pekerjaan keluarga, tidak menyakiti hati orang lain dan tidak memutuskan persaudaraan, menjauhkan diri dari sikap amarah, berlaku bijaksana waktu disakiti orang, selalu memohon ampun bila terlanjur melakukan pembangkangan, tidak bergunjing/membicarakan aib orang lain, tidak berburuk sangka, tidak berlaku zalim (baik zalim tindakan, ucapan, pikiran), selalu senyum, memaafkan orang yang menganiaya kita, selalu ingat Allah, (diwaktu duduk, berjalan dan berbaring), mendamaikan permusuhan, memuliakan tamu, memenuhi undangan, menjenguk yang sakit, mengajak orang ke jalan Allah, memenuhi janji, berlaku baik terhadap tetangga, mengeluarkan zakat atau sedekah, tidak kikir, menjaga kebersihan, mendo’akan orang tua, tidak durhaka kepada orang tua, berlaku lemah lembut kepada pembantu, mengantarkan jenazah, menuntut ilmu, menyantuni anak yatim, melaksanakan haji, tidak melakukan syirik, bekerja dan lain-lain sebagainya.

Bila kita menyenangkan ‘Sang Pemberi Nikmat’, maka ia akan tambahkan nikmat-Nya kepada kita. Karena itulah Allah mengatakan, barangsiapa yang bersyukur kepada-Ku, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri [Lukman:12], dan Allah tidak akan menyiksa orang yang bersyukur [An-Nisaa’:147]. Bahkan di ayat lain Allah memberikan jaminan:

Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku sesungguhnya azab-Ku amat pedih.

Ketika Rasulullah saw. Beribadah sampai kaki beliau bengkak-bengkak, Sayidah Aisah istrinya berkata, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau beribadah sampai seperti itu, bukankah Allah telah mengampuni segala dosamu?’ Rasulullah menjawab, “Tidakkah engkau suka aku menjadi hamba Allah yang bersyukur?’
Cara bersyukur yang diuraikan diatas adalah bersyukur dalam arti yang terus menerus. Ada juga bersyukur dalam artian sesaat. Misalnya, suatu ketika kita memperoleh rezeki yang berupa harta. Maka langkah bersyukur yang pertama adalah, dengan perasaan ‘tawadhu’ (rendah diri) ucapkanlah Alhamdulillaah…, kemudian gunakan sebagian harta yang diperoleh itu untuk menyenangkan Allah, misalnya dengan bersedekah, memberi makan fakir miskin, membantu pembangunan mesjid, dan lain sebagainya.

Kesimpulan
Bersyukur yang benar itu harus mencerminkan 2 macam tindakan yang saling terkait. Yaitu secara batiniah mengagungkan yang memberi nikmat, dan secara lahiriah melakukan perbuatan/amal yang dapat membuat ‘si pemberi nikmat’ itu merasa senang [karena yang memberi nikmat pada kita itu adalah Allah, maka kita harus membuat Dia senang, yaitu dengan jalan taat/patuh mengerjakan segala kehendak-kehendak-Nya]

Ciri orang yang bersyukur adalah ia takut mengerjakan perbuatan yang tidak disenangi Allah dan ia pun taat mengerjakan perintah-Nya, karena ia menyadari Allah telah memberinya berbagai macam nikmat. Terngiang-ngiang selalu dihatinya peringatan Allah,

…Dan sedikit-sedikit dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih

Baginya mengerjakan perbuatan yang tidak disenangi Allah ataupun membangkang kepada-Nya dengan tidak melaksanakan perintah-perintah-Nya, sama artinya dengan tidak berterima kasih atas segala nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya.

Hendaknya Nanda selalu membiasakan berfikiran positif terhadap apapun yang terjadi, karena berfikiran negatif menghalangi untuk bersyukur. Berfikiran negatif akan melupakan kita kepada nikmat yang telah kita terima.